Minggu, 18 Maret 2012

Kebijakan Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

Seperti yang dipahami selama ini, persoalan kemiskinan telah sedemikian peliknya untuk diurai dan dipecahkan. Hal ini disebabkan oleh multispektrum tentang definisi kemiskinan, sehingga definisi dan pengukurannya tidak mudah utuk diselesaikan dalam satu pegertian. Secara konseptual perdebataan yang muncul selama ini dihadapkan dua sisi yang saling bertabrakan, yaitu mmendudukan kemiskinan dalam aspek ekonomi semata atau memposisikan kemiskinan sebagai isu sosial. Jika kemiskinan dianggap sebagai masalah ekonomi saja, maka kemiskinan biasanya disederhanakan dalam bentuk berapa pendapatan perkapita atau jumlah asupan makaanan bergizi/ kalori per individu, namun jika kemiskinan dianggap sebagai isu sosial maka memandang kemiskinan merupakan keterbatasan individu untuk terlibat dalam partisipasi pembangunan, baik akibat dari ketidakmampuaan ketrampilan, pendidikan atau akses untuk mendapatkan penghasilan sehingga individu tersebut tidak mampu mencapai kesejahteraan.


Karakteristik kemiskinan di Indonesia cukup bervariasi, hal ini membuat penannggulangan kemiskinan di Indonesia belum terlaksana secara maksimal. Ada tiga karakteristik atau ciri kemiskinan di Indonesia,

Banyak penduduk Indonesia yang rentan terhadap kemiskinan, banyaknya masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan sedikit diatas garis kemiskinan, kelompok ini rentan terhadap kemiskinan.

Kemiskinan di Indonesia diukur dari segi pendapatan, sehingga tidak mengambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang- orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari sisi pendapatan dapat dikategorikan atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator- indikator pembangunan manusia.

Perbedaan karakteristik daerah yang besar di bidang kemiskinan, luas dan keragaman antar daerah di Indonesia merupakan ciri khas dari Indonesia, hal ini terlihat dengan adanya perbedaan antara pedesaan dan perkotaan dan juga kondisi geografis Indonesia yang beragam membuat pelayanan dasar yang tidak merata di setiap daerah.

Sebenarnya jumlah penduduk miskin pada orde baru menunjukkan penurunan di setiap tahun, pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta (40,08%) , pada tahun 1987 menurun menjadi 30 juta (17,42%), pada tahun 2006 sebelum krisis tinggal 22,5 juta (11,3%), namun setelah krisis ekonomi sampai pertengahan tahun 1998 jumlah penduduk miskin mencapai 79,8 juta (BPS,1998). Jumlah penduduk miskin sebenarnya menunjukkkan penurunan pada tahun 2003-2005, namun pemerintah menaikkan harga BBM secara berlebihan (sekitar 100%) pada bulan oktober 2005 sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Tercatat jumlah penduduk miskin pada bulan maret 2006 melonjak menjadi 39,05 juta, padahal pada bulan februari hanya sebesar 35,1 juta jiwa. Ditambah lagi dengan kenaikan harga beras sebesar 33% sebagai dampak larangan impor beras menambah jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin,

Kebijakan pemerintah untuk pegentasan kemiskinan telah banyak dilakukan, namun tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, baik melalui bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi dari pengurangan subsidi BBM dan beras untuk masyarakat miskin (raskin) maupun bantuan yang bersifat in kind yang berupa asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin serta bantuan operasional sekolah (BOS) yang diharapkan mampu menurangi jumlah anak putus sekolah dari penduduk miskin dan meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat tidak berjalan sesuai harapan. Banyak penyimpangan- penyimpangan dalam pelaksanaannya sehingga tujuan dari program tersebut tidak tercapai.

Kebijakan penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan secara umum masih terdapat banyak kelemahan dari kebijakan pengentasan kemiskinan tersebut. Setidaknya ada lima kelemahan dalam penerapan kebijakan dalam pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan olleh pemerintah. Pertama, kebijakan pengentasan kemiskinan dilaksanakan secara seragam (general) tanpa melihat konteks sosial, ekonomi, dan budaya disetiap wilayah (komunitas). Kedua, definisi dan pengukuran kemiskinan lebih banyak di pengaruhi pihak luar (externally imposed) dan memakai parameter yang terlalu ekonomis. Implikasinya adalah konsep penanganan kemiskinan mengalami bias sasaran dan mereduksi dari hakikat kemiskinan itu sendiri. Ketiga, penanganan program pengentasan kemiskinan mengalami birokratisasi yang dalam, sehingga banyak yang gagal akibat belitan prosedur yang terlampau panjang. Keempat, kebijakan penanganan kemiskinan sering ditumpangi oleh kepentingan politik yang amat kental sehingga tidak mempunyai muatan atau makna dalam penguatan perekonomian masyarakat miskin. Kelima, kebijakan kemiskinan kurang mempertimbangan aspek ekonomi kelembagaan sebagai prinsip yang dikedepankan sehingga sebagian kebijakan itu tidak berhasil karena program yang dirancang dalam pengentasan kemiskinan tidak sesuai dengan kebutuhan yag diperlukan masyarakat miskin.

Melihat kondisi diatas maka perlu adanya penanganan kemiskinan yang lebih komprehensif, yaitu melihat kemiskinan tidak hanya melihat dari sisi pendapataan yang diterima perkapita, namun perlu adaxa pendekataan yang menyeluruh dalam memandang kemiskinan dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan letak geografis suatu daerah. Tidak bisa lagi menerapkan kebijakan penanggulangan kemiskinan secara umum, namun kebijakan tersebut harus dirancang sesuai dengan karakteristik kemiskinan di daerah tertentu. Hal ini dikarenakan perbedaan karakteristik kemiskinan di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya baik dari segi ekonomi, social, letak geografis dan budaya. Dengan melihat karakteristik kemiskinan yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya yang berbeda dapat diperoleh informasi yang lengkap tentang potret kemiskinan yang sesungguhya. Maka dapat dirumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang menyentuh kaum miskin tersebut tepat sasaran.

Untuk melaksanakan pengentasan kemiskinan didaerah maka perlu peranan pemerintah daerah yang baik dalam penanggulangan kemiskinan, hal ini perlu dilakukan karena pemerintah daerah mempunyai atau mengetahui secara menyeluruh karakteristik kemiskinan didaerah tersebut. Selama ini kebijakan pengentasan kemiskinan selalu dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai pelaksana dari program pengentasan kemiskinan didaerah. Hal ini mengakibatkan birokrasi untuk penanggulangan kemiskinan terlalu panjang, hal ini membuka peluang kebocoran dari program pengentasan kemiskinan. Hal ini menyebabkan program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan tidak berhasil secara baik karena tidak sesuai dengan karakteristik kemiskinan didaerah.

Dalam penanganaan kemiskinan perlu adanya desentralisasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, pemerintah daerah sebagai institusi yang paling menngerti kondisi masyarakat didaerah perlu dilibatkaan dalam perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan, sehingga arah kebijakan pengentasan kemiskinan yang akan dilakukan menyentuh pada sasaran dan efekktif.

Disamping itu perlu adanya kelembagaan yang kuat dari organisasi ekonomi masyarakat miskin, hal itu perlu adanya fasilitasi dari pemerintah untuk meningkatkan peran ekonomi masyarakat miskin dengan melibatkan peran lembaga swadaya masyarakat sebagai pendamping dari program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Dengan partisipasi masyarakat secara aktif diharapkan kegiatan ekonomi masyarakat miskin dapat berjalan sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.

Sumber : http://fe.wisnuwardhana.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar