Rabu, 04 Januari 2012

Kondisi Pelayanan Publik di Indonesia

Berbicara mengenai pelayanan publik seolah topik yang tiada habisnya untuk dibahas. Banyak pandangan miring manakala kata pelayanan publik dibahas. Pelayanan publik sering dikaitan dengan kolot, antre lama, kotor, korup, berbelit-belit, dan petugas yang kurang ramah. Mungkin hal ini benar tetapi mungkin juga salah karena itu, kuranglah fair men-judge bahwa pelayanan publik seperti ini atau seperti itu tanpa menelisik lebih jauh dan lebih dalam mengenai apakah pelayanan publik tersebut. Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Wikipedia). Contoh dari pelayanan publik ini banyak sekali.
Sebagai contoh pembuatan SIM, KTP, jasa listrik (PLN), PDAM, PT KAI, pelayanan pajak, pengurusan paspor,dsb. Dalam artikel ini, akan dibahas beberapa layanan publik di Indonesia untuk selanjutnya kita dapat lebih arif dan bijaksana menyikapi layanan publik di Indonesia.

Yang pertama adalah perkeretaapian di Indonesia. Perkeretaapian di Indonesia dikelola oleh PT KAI, sebagai salah satu BUMN di negeri ini. Perkeretaapian merupakan bahasan yang menarik karena akhir-akhir ini pemerintah baru saja menaikkan tiket kereta api, tetapi dalam waktu sehari pemerintah menurunkannya kembali. Ada apakah gerangan? Direktur Komersial Kereta Api, Sulistyo Wimbo Hardjito mengatakan, tarif kereta kelas ekonomi perlu dinaikkan karena sejak 2002 tidak pernah naik. Bahkan pada 2009, Kereta Api justru menurunkan tarif. Kenaikan tarif kereta ini sebelumnya sempat tertunda tiga kali pada 2010, dan awal tahun ini akan diberlakukan mulai tanggal 7 Januari 2011. Dengan kenaikan ini, PT Kereta Api berjanji meningkatkan pelayanan, di antaranya meningkatkan keamanan penumpang, menambah kipas angin, lampu, dan kebersihan stasiun. Fokus pada kata peningkatan pelayanan yang perlu disoroti adalah hal-hal apa yang telah terjadi pada perkeretaapian setahun belakangan ini. Berikut akan dibeberkan beberapa fakta kurang sedap mengenai perkeretaapian di Indonesia
1. penulis berkesempatan mencoba “menikmati” perjalanan kereta api di hari dimana terjadi kenaikan tarif yaitu Sabtu, 8 Januari 2011. Kereta ekonomi tentu saja, adapun nama stasiun dan tujuan disamarkan. Terdapat beberapa hal yang kurang menyenangkan seperti kipas baru yang dijanjikan tidak ada, Jadwal kereta yang meleset jauh yaitu tertera berangkat 15:30 tetapi faktanya kereta datang sekitar 17:30, penumpang di atap masih banyak, WC tidak digunakan sebagaimana mestinya, dan pada beberapa perjalanan tiket tidak ditanyakan. Satu hal nilai plus selama perjalanan itu adalah petugas stasiun akan menjawab dengan senang hati dan ramah ketika kita kebingungan dan bertanya mengenai tujuan dan jadwal kereta api.
2. Terdapat Bad record mengenai kecelakaan kereta api selama tahun 2010 silam. Kereta api pengangkut BBM menabrak bus antarkota antarprovinsi (AKAP) PO Lubuk Basung Jaya Transport, di Jalan Lintas Sumatra (Jalinsum) kawasan Lembayung, Kelurahan Bandar Agung, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan (Antara News), Kecelakaan lalu lintas kembali terjadi. Sebuah kereta api menabrak mobil Isuzu L 300 bernopol B 9825 UD di perlintasan kereta api di Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan (Detik News Jakarta), Tergulingnya KA Logawa di di Saradan-Madiun, kecelakaan di Caruban, Tabrakan antara KA Argo Bromo dan KA Senja Utama, dan terdapat beberapa kecelakaan lainnya. Tidak heran, berita yang selalu didengung-dengungkan adalah mendesak Kementerian Perhubungan dan Direksi PT KAI bekerja professional menciptakan road map to zero accident, mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas di lingkungan PT KAI guna mencapai target zero accident yang sudah dicanangkan pemerintah.
3. Isu keamanan penumpang mencakup tidak hanya fasilitas saja(kereta, toilet,rel, dsb), tetapi juga bagaimana PT KAI mengamankan penumpangnya dari lemparan-lemparan batu yang tidak bertanggung jawab yang acapkali terjadi ketika kereta berjalan di malam hari.
4. Masih adanya calo. Hal ini penulis alami sendiri ketika akan pulang kampung saat perkuliahan diliburkan. Ketika tiket yang dimaksud habis, satpam di sebelah dengan entengnya menawarkan tiket yang kata meraka “jatah” pegawai, tentunya dengan harga yang lebih mahal.
Itulah sekilas mengenai kereta api di Indonesia, selanjutnya akan dibahas mengenai proses pembuatan KTP di Indonesia. Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah identitas kependudukan. Kartu ini wajib dimiliki oleh warga negara Indonesia yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Batas pembuatannya adalah 14 hari semenjak menikah atau berusia 17 tahun dengan biaya gratis atau tanpa uang sepeserpun. Sebagai sampling kasus, terdapat beberapa fakta yang menunjukan sebaliknya dimana calon pembuat KTP dikenakan semacam charge atau bolehlah secara kasar kita sebut uang sogok bahkan semenjak tingkat RT. Tatim (48), warga Kelurahan Karawaci Baru RT 03/10 Karawaci, yang menyatakan diperas aparat kelurahan setempat, Solihin dan Undang, ketika hendak membuat KTP. Kedua oknum petugas ini meminta uang Rp 40 000 (http://bataviase.co.id/node/141296). Kelurahan Kayuputih, Pulogadung, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu, oknum petugas kelurahan memungut uang Rp 10 ribu, pada setiap warga yang akan mengurus KTP maupun KK (kartu keluarga), di kelurahan tersebut. Kasus ini mencuat ke permukaan ketika terjadi protes warga, pungutan liar dalam pengurusan KTP di Kecamatan Tempuling, pengalaman penulis sendiri ketika mengantar teman membuat KTP di kecamatan X sebut saja begitu, ketika proses pembuatan KTP yang sedianya harus mengantri berjam-jam akibat banyaknya yang mengurus KTP dalam sesi foto cukup membayar Rp 20.000 maka akan dipercepat alias tanpa antri dan keesokan harinya KTP sudah siap di tangan. Itulah sekelumit fakta bahwa pembuatan KTP yang sedianya gratis tanpa sepeser uang pun menjadi ajang mencari sampingan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Saya pikir tidak semua instansi baik di kecamatan, atau kelurahan atau RT seperti itu tetapi paling tidak, dari beberapa instansi atau bahkan mungkin banyak instansi, mengingat hal itu sudah menjadi rahasia umum, terjadi hal yang kurang patut seperti itu.
Serupa dengan kasus pembuatan KTP adalah pembuatan SIM atau surat izin mengemudi, bahkan dalam masyarakat sampai terdapat istilah SIM nembak atau SIM yang dibuat dengan uang pelicin. Sebagai fakta, dalam proses pembuatan SIM di tahun sekitar 2008, sebut saja di Kota XYZ peserta yang ingin mendapat SIM tanpa tes cukup membayar Rp 170.000. Akhir-akhir ini penulis amati di tubuh Kepolisian terjadi perbaikan dimana pembuatan SIM nembak ini berhasil dikurangi dengan baik. Di kota XYZ tersebut pun ketika ingin mendapatkan SIM peserta benar-benar diuji kelayakannya.
Selanjutnya adalah mengenai pelayanan pajak. Masih segar dalam ingatan ketika bagaimana oknum pegawai pajak, Gayus Halomoan Tambunan dalam kasus pajak yang melibatkan “pemain-pemain kelas kakap” yang tentu saja menciderai perasaan para wajib pajak dan makin memperparah sentiment negatif masyarakat terhadap institusi perpajakan. Reformasi perpajakan memang sudah digulirkan semenjak tahun 2002 dan berdampak positif ditandai dalam berbagai barometer dan penelitian bahwa pajak bukanlah institusi terkorup dan tercapainya target penerimaan negara yang semakin meningkat, tetapi tetap Instansi perpajakan butuh usaha ekstra keras untuk bisa memperbaiki citranya.
Dari uraian-uraian di atas kondisi pelayanan publik masih sangat buruk, masih diwarnai praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) serta sarat dengan paradigma korporatisme untuk mencari keuntungan pribadi. Buruknya pelayanan publik diperparah pula oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengingatkan para pejabat publik termasuk pegawai negeri sipil (PNS) agar bekerja lebih profesional.
Lantas apakah pelayanan publik mesti diprivatisasikan saja? Sebelum menjawab pertanyaan ini patut diperbandingkan dulu antara pelayanan publik dengan pelayanan swasta. Uraian di bawah ini mencoba membandingkannya.
Karakteristik Pelayanan publik (http://ariefh.wordpress.com/2008/03/10/akuntansi-untuk-pelayanan-publik/)
1. Rentang pelayanan luas dengan biaya yang lebih murah. Dalam industry perkeretaapian di atas, sebagai contoh, murahnya tiket kereta api bengawan, Jakarta-Solo yang hanya 30.000an,
2. Distribusi yang lebih merata.
3. Kerangka hubungan pekerja dan manajemen lebih bersifat kekeluargaan dan permanen
Karakteristik Pelayanan swasta, yang juga merupakan kebalikan pelayanan Publik
1. Beberapa organisasi swasta dianggap lebih efisien dibanding organisasi sektor publik. Dari mulai net income perusahaan saja bisa terlihat bagaimana PT PLN yang melaporkan selalu rugi, PT PELNI, PT DI, PT KAI yang merugi.
2. Kekuatan pasar dan kompetisi akan meningkatkan pilihan dan mengurangi biaya pelayanan, sementara itu tuntutan pengembangan kualitas menjadi lebih besar. Kenapa TVRI cenderung stagnan adapun stasiun-stasiun TV lainnya berimprovisasi pada program-program acaranya? Itu karena mereka dituntut oleh pasar untuk berkembang.
3. Sektor dan pasar yang kompetitif lebih cepat tanggap pada pilihan konsumen dan kondisi perubahan permintaan dan penawaran
4. Pemerintah terlalu besar dan boros, sehingga pemerintah lebih baik berperan sebagai regulator.
5. Mengurangi ketergantungan pada pemerintah dengan meningkatkan partisipasi masyarakat melalui mekanisme pasar dan inisiatif individual.
Jika ukuran kesejahteraan suatu negara adalah berupa keuntungan saja, tentu saja pilihan pada pelayanan publik adalah pilihan yang buruk. Hanya kompetisi di dalam pasar yang akan menentukan pelaksanaan pelayanan publik (Rajiv Prabhakar, 2006). Sebaliknya, kelompok yang berpihak pada negara menganggap mekanisme pasar gagal untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh masyarakat karena logikanya hanya menguntungkan pemenang dari kompetisi di dalam pasar, sedangkan pihak yang kalah atau lebih lemah bukanlah persoalan bagi kaum pendukung pasar. Jadi disini adalah masalah sudut pandang yang berbeda antara golongan pro-pasar dan pro-publik.

Sumber : http://adinugroho5.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar